Selasa, 04 Maret 2014

INVISIBLE CRACKS.....Bagian Empat

Tididid….Tididid…Tididid….

“ Argh, menyebalkan sekali suara alarm ini membuat kepalaku pusing”, gumamku sambil menggosokkan mata. Tiba-tiba aku teringat akan Stephen dan kejadian semalam. Sontak badanku seperti melompat dari tempat tidur. “Apa? Aku sudah diatas tempat tidur?”, alangkah kagetnya saat kulihat jam alarm sudah menunjukkan pukul 05.30 pagi. Apa-apaan ini? Bukankah seharusnya tidak seperti ini? Bukankah seharusnya aku sedang mencari Stephen dan terjatuh di dapur? Siapa yang membiusku? Segala teka-teki itu membuat kepalaku berdenyut nyeri. Kuraih handphone ku dan memutuskan untuk tidak hadir pada hari ini…kepalaku sakit sekali. Aku perlu waktu untuk meluruskan yang sudah kualami tadi. Badanku terasa lemas .

Ah….aku memang membutuhkan istirahat dari segala rutinitasku yang harus bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan itu. Menjauhkan diri dari segala tugas-tugas dan segala tatapan yang mengganggu itu barang sehariiii saja. Baiklah, hari ini aku akan membusuk disini. Hanya untuk hari ini.

Setengah jam berlalu dan aku hanya membolak-balikkan badan dengan gelisah. Merasa tidak tahan , akhirnya kuputuskan mencuci seprai dan membereskan rumah; ini lebih baik daripada hanya bengong dan tidak melakukan sesuatu.


---------------------------------**********------------------------------------------



Aku merasa bangga dengan hasil kerjaku di rumah ini. Rumah yang selama ini jarang mendapat “sentuhan” kini terasa sangat luas, bersih, jauh lebih nyaman dari sebelumnya. Senyuman lebarku seketika menghilang saat aku melihat bungkusan hitam di tong sampah. Dengan hati-hati aku menghampiri dan membuka isinya. Rupanya aku masih merasa penasaran dengan kejadian itu.
Ternyata yang kutemukan bukanlah pakaian Stephen semalam atau kain yang kugunakan untuk membersihkan “jejak”; melainkan tumpukan sampah dari dua hari yang lalu, yang belum sempat kubakar. Jidatku berkerut dan mulai merasa nyeri. Apa maksudnya semua ini? Masakan aku hanya bermimpi? Kucoba meraih tangan dan kakiku untuk melihat apakah ada tanda-tanda memar karena terjatuh. Tidak ada yang kutemukan. Ah, berarti itu hanya mimpi. Aku mencoba mengulangi kata-kata tersebut untuk membentuk suatu sugesti. Yap, ha-nya mim-pi.

Setelah membereskan rumah aku membereskan badan ini yang sudah mulai membusuk. Hahaha….lega rasanya sudah mengeluarkan keringat karena melakukan aktivitas yang menenangkan jiwa. Barulah semua sampah-sampah yang ada kubawa ke depan untuk dibakar.

“Rajin sekali pagi-pagi membereskan rumah!”, “Ahaha…sesekali bu. Rumah ini sudah hampir berbulan-bulan tidak terurus”. Ibu Emi, tetanggaku sedang menyapu halaman dan melihat seorang gadis yang selama ini jarang telihat. Mungkin saja ibu Emi merasa heran dengan diriku yang berangkat dari rumah saat pagi-pagi buta dan pulang ketika malam hari menjelang. Akupun menyapa Pak Bram yang sedang santai di teras rumahnya. Namun, aku merasa harus mampir kesana.

Setelah kuperiksa dan kukunci semua pintu dan jendela rumah, kuputuskan untuk ke tetangga yang sudah seperti orangtuaku. Bapak Bram dan Ibu Emi pun menyambut kedatanganku dengan hangat. Kami mengobrol dengan lancar sambil menyantap sarapan pagi buatan ibu Emi. Ah, kehangatan ini sangat kurindukan. Semenjak hari itu….

Alangkah terkejutnya saat aku melihat Koran pagi yang sedang dibaca pak Bram. Mungkin karena melihat wajahku yang penasaran, pak Bram menyodorkan Koran itu untuk kubaca.

Café di kota M Dikelilingi PoliceLine dan Melumpuhkan Kegiatan Operasional Sementara

“Telah terjadi keributan besar di sebuah café kawasan kota M pada pukul 01.35 dini tadi. Keributan ini berasal dari pihak sekuriti yang lengah dan membiarkan seorang pemuda menyusup di ruang ganti artis. Diduga pelaku tersebut menyusup masuk dan menyerang salah satu artis disana. Menurut keterangan saksi, artis tersebut diseret menuju pintu belakang; akan tetapi, berhasil dicegah oleh seorang pemuda lain yang kemudian menjadi korban penganiayaan pelaku.

Ketika pihak keamanan hendak turun tangan, pelaku telah memanggil teman-temannya sehingga menimbulkan keributan besar. Hingga kini, pemuda yang dianiaya beserta pelaku tidak dapat diidentifikasi keberadaannya. Kini pihak kepolisian hendak memeriksa teman-teman pelaku tersebut. Diduga mereka hanyalah preman yang dibayar oleh pelaku.”

PERSIS!

“Ada apa, nak? Kenapa wajahmu seperti itu?”, suara pak Bram menyadarkanku dari lamunan. Ibu Emi menatapku dengan wajah yang terheran-heran. “Berita ini menarik. Saya….merasa seperti menonton cuplikan adegan film detektif. Hahaha!”, aku mencoba menjawab seadanya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Kami melanjutkan obrolan hingga menjelang siang hari. Rasanya tidak enak kalau berlama-lama disini.

Dalam perjalanan menuju pintu rumah, kepalaku kembali berkecamuk dengan potongan-potongan puzzle ini. Sugesti yang sudah susah payah kubangun sepertinya harus ditepis. Dari dalam rumah kudengar suara televisi yang menyala. Aku berlari menuju pintu belakang yang sekonyong-konyong sudah terbuka. Astaga, apa lagi ini?!

Jantungku serasa mau melompat saat kulihat sosok pemuda yang mengobrak-abrik lemari es dapur.

“Stephen??”

 “Oh, Hai! Aduh!”, kepala Stephen terbentur rak lemari es karena terlalu terburu-buru menyapaku. “Kenapa kamu tidak hadir hari ini?”. Pertanyaan yang aneh, pikirku. Aku mulai merancang suatu kecurigaan padanya.

“Sesekali ingin menjauh dan membereskan “sesuatu””, jawabku sambil mengangkat bahu.

“Yeah, bisa kulihat rumahmu jauh lebih tertata rapi dan….sesekali bersosialisasi dengan tetangga itu tidak salah kok”, jawabnya sambil melengkungkan cengiran khas Stephen.

“Berarti kamu sudah lama disini. Kenapa tidak nimbrung saja tadi?”

“Males ah, obrolan orangtua”

Sial.

“Jangan cemberut gitu, Gina. Manismu ntar berkurang loh. Tuh, kubawakan makanan dan minuman kesukaanmu; PLUS buah-buahan. Eh, tapi kayaknya buah sekeranjang itu kutarik deh…kukira kamu sakit”

“Terserah”, jawabku sambil berlalu menuju ruang tengah. 

Tanganku ditarik Stephen dan dia mendekatkan dahinya di dahiku. Cukup lama.

“Ah…aku tidak berhasil membaca pikiranmu”

“Apa maksudmu?”

“Ada sesuatu yang ingin kamu katakan padaku?”, dia berkata seperti itu sambil tersenyum. 

Sialan. Bukankah terbalik, seharusnya kamu yang menceritakan “sesuatu” padaku? Tentang kejadian semalam….setelah aku mengantarmu bekerja. Apa yang terjadi di Café itu?

Tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulutku. Aku hanya menurunkan sudut bibir dan menaikkan bahu. “Entahlah, aku hanya merasa lelah. Ingin bermalas-malasan saja hari ini. Seperti yang kubilang tadi, ingin menjauh dan membereskan “sesuatu” ”. Aku merasa sangat kecewa dengan kelakuan Stephen…..dan kelakuanku barusan. Kami seperti bermusuhan. Ah..situasi yang sangat MENYEBALKAN!

“Baju itu….”

Astaga, aku baru sadar kalau sedang memakai kemeja Stephen. Kemeja bulukan yang tidak sudi dipakainya. Kemeja ini kuanggap seperti piyama yang sangat nyaman untuk dipakai di rumah.

“Oh, iya ini untuk terakhir kalinya aku memakai. Karena sudah telalu buluk, setelah ini akan kubuang”.

Bodoooohhh! Kenapa aku menjawab seperti barusaaan? Astaga, makin runyam deh masalahnyaaa! Regina BODOH!

Stephen tidak marah ataupun menjawab pernyataanku barusan. Dia malah mendekat ke arahku. Dia memeluk dengan hangat dan berhasil membuyarkan airmataku. Ah, benar-benar bodohnya aku.

“Sudah, jangan menangis lagi. Kamu mungkin telah mengalami suatu hal buruk dan mempengaruhi moodmu. Aku datang di saat yang tidak tepat, ya kan?”

“Maaf, Stephen, maaf” , aku berhasil membasahi kemeja di badan Stephen dengan airmata dan ingus (jorok!).

“Hee…okelaah aku akan memaafkanmu dengan satu syarat”

“Apa-apaan sih sampai hal seperti ini juga perhitungan?”

“Bukan mengenai kelakuanmu yang jutek itu, sayangku. Tapi lihat, hasil karyamu di kemejaku yang mahal ini!” , Stephen menunjukkan pola abstrak hasil karyaku di kemejanya dengan ekspresi pura-pura kesal. Ah, dia berhasil membuatku tertawa lagi.

“Iya deh ….kuganti deh. Dasar perhitungan banget sih jadi manusia! Apa maumu?”

“Hmmm….apaa yaa?”, dia membuat gesture (sok) sedang berpikir keras. Memang cocok menjadi pelawak manusia satu ini. Tiba-tiba dia memandangiku dengan lekat. Dia meraih daguku dan mencoba mendekatkan wajahnya.

“Stephanie?”

Gerakannya terhenti dan tersenyum. Tersenyum bersalah.

“Istirahatlah. Aku hanya sebentar kesini untuk break jam makan siang. Nanti akan kupikirkan cara menebus kemejaku ini”.

Stephen mencium keningku dan berlalu.

Aku?

Termangu…….

---------------------------------------- ---------TO BE CONTINUED --------------------------------------------------