Rabu, 26 Februari 2014

INVISIBLE CRACKS.....Bagian Ketiga

Kalau kuingat-ingat, selama ini Stephen menceritakan perihal pekerjaan dengan tidak begitu mendetail. Hanya mengenai pekerjaan yang mengandung resiko tinggi kalau tidak berhati-hati dan kelihaian dalam menyamar sangat dibutuhkan. Akupun tidak pernah diperbolehkan masuk ke dalam café itu. Sepertinya penjaga sudah diberikan pesan agar aku hanya diperbolehkan mengantar atau menjemput di luar café saja.

Sempat kutebak-tebak dan kuungkapkan kepadanya langsung. Mulai dari germo, pengedar narkoba, penari striptis, penjaga para pelacur yang ada disana saat “beraksi”….tidak ada satupun yang dijawabnya dengan jelas, hanya terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepala. Ah, geram jadinya. Sejak saat itulah aku menyerah mengurusi kehidupan malamnya itu. Yang penting dia selalu ada di saat aku butuh, begitu pula aku.


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~******~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
        

     Tiba-tiba aku terbangun. Aku mengecek handphone terdapat puluhan panggilan tak terjawab. Stephen. Dia menelfon sejak dua jam yang lalu. Seketika itu juga aku merasakan bulu romaku berdiri. Stephen tidak pernah-pernahnya melakukan hal seperti ini. Sewaktu kucoba menelfon kembali tidak ada jawaban yang kuperoleh. Hanya nada tunggu dan diakhiri dengan mailbox. Perutku serasa melilit dan kepalaku tiba-tiba terasa berat. Sepertinya ada firasat yang tidak enak.
          
          Untuk menenangkan diri aku berjalan menuju dapur untuk mengambil air hangat. Namun, alangkah kagetnya aku ketika melihat pintu belakang di samping dapur terbuka. Aku langsung mencari panci penggorengan sebagai senjata untuk membela diri, lalu berjalan mengendap menuju pintu itu.

“STEPHEN….!!!!”
         
        Sontak aku berlari menuju tubuh Stephen yang berlumuran darah di bawah pintu belakang dapur. Wajahnya sudah dingin dan pucat. Aku mengecek kembali ke arah pintu luar apakah ada seseorang yang bersembunyi. Tidak ada. Hanya jejak darah Stephen yang tercecer dari pagar hingga pintu belakang ini. Tak lama kusembunyikan tubuh Stephen dan kubersihkan jejak darahnya dengan air dan karbol. Aku tak mau ada kecurigaan yang mengusik ketenanganku ini. Setidaknya sampai kuperoleh cerita dari Stephen sendiri mengenai apa yang sebenarnya telah terjadi.

          Seusai “pembersihan” itu, aku menuju ruangan dapur dan menyiapkan air hangat dan handuk bersih. Kucoba membersihkan luka-luka yang ada di wajahnya. Untunglah dia tidak mengalami luka tusuk di badannya. Sepertinya dia dihajar dengan benda tumpul. Apakah kali ini dia lengah dan ketahuan polisi? Segala pikiran jelek berkecamuk dalam kepalaku hingga membuatku mual. Aku seperti pengasuh bayi yang membersihkan badan Stephen yang tidak berdaya ini. Terpaksa tubuhnya kulilit dengan kain panjang karena pakaiannya sudah kumasukkan ke dalam plastic hitam untuk dibuang dan dibakar. Upaya menghilangkan jejak. Itulah yang sedang kulakukan sekarang, dari pakaian, halaman depan, hingga lantai dapur ini; kuupayakan tidak ada lagi jejak darah Stephen yang tercecer.

“Hey, Stephen. Apa kau mendengarku? Hey!” , kutepuk pipinya dengan harapan dia tidak pingsan. Untunglah dia bisa menggerakkan sedikit bibirnya. Kuraih air hangat ke mulutnya dan dia berusaha untuk menelannya. Dengan susah payah kubawa dia ke kamarku. Setidaknya bebanku agak berkurang karena yang kugotong bukan orang yang sedang pingsan.


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~***********~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


05.30 AM

Hari sudah berganti dan Stephen masih belum membuka matanya. Sempat terpikir untuk izin tidak masuk pada hari ini; tetapi, kecurigaan akan timbul ketika tau Stephen juga tidak hadir. Apalagi kalau sudah beredar rumor mengenai dia. Aduh, mual rasanya! Terpaksa aku membereskan file dan bersiap membuat sarapan. Entah kenapa aku ingin menghidupkan televise pagi ini. Sesekali menonton berita gossip selebriti ga ada salahnya, pikirku sambil tersenyum geli. Baru kali ini aku merasakan suasana lain saat mempersiapkan sarapan sambil menghidupkan televisi. Terkadang seperti orang gila dibuatnya, tertawa sendiri melihat berita dan tingkah konyol selebritis itu dengan segala sensasinya. Biasanya aku mempersiapkan sarapan untuk dibawa di perjalanan sambil diburu oleh waktu. Jarang sekali ada kesempatan untuk sekedar santai di depan televisi di rumah. Mungkin karena ingin mempersiapkan untuk “orang lain” yang ada di rumah. Ya, mungkin saja. Ah…lagi-lagi aku tersenyum sendiri.

Entah kenapa aku meraih remote dan mengganti saluran, mungkin karena sudah mulai bosan dengan selebritas itu. Saatnya melihat berita serius yang berbobot.

“Berita pagi ini. Telah terjadi keributan besar di sebuah café kawasan kota M pada pukul 01.35 dini tadi. Keributan ini berasal dari pihak sekuriti yang lengah dan membiarkan seorang pemuda menyusup di ruang ganti artis. Diduga pelaku tersebut menyusup masuk dan menyerang salah satu artis disana. Menurut keterangan saksi, artis tersebut diseret menuju pintu belakang; akan tetapi, berhasil dicegah oleh seorang pemuda lain yang kemudian menjadi korban penganiayaan pelaku.
Ketika pihak keamanan hendak turun tangan, pelaku telah memanggil teman-temannya sehingga menimbulkan keributan besar. Hingga kini, pemuda yang dianiaya beserta pelaku tidak dapat diidentifikasi keberadaannya. Kini pihak kepolisian hendak memeriksa teman-teman pelaku tersebut. Diduga mereka hanyalah preman yang dibayar oleh pelaku.”

Sontak jantungku berdegub kencang. Café di kota M? Jangan-jangan disitu tempat Stephen bekerja. Dia kutemukan di depan pintu rumah sekitar jam 4 dini hari dengan keadaan babak belur. Call history dimana dia berkali-kali berusaha menghubungiku dari dua jam sebelumnya. Potongan-potongan puzzle tersebut berkerumun dan mengeroyok logika yang ada. Aku berlari menuju kamar namun tidak kutemukan Stephen di atas ranjangku. Dengan kalut aku mencari di penjuru rumah. Saat hendak kembali ke dapur aku terpeleset dan terjatuh. Ada seseorang yang menyekap mulut dan hidungku dengan bius. 

Siapa? Stephen, kamu dimana? Tolong……..


------------------------------------ ---------TO BE CONTINUED -----------------------------------


Selasa, 04 Februari 2014

Invisible Cracks......Bagian Kedua

Kekalutan dan kecemasan memeluk erat pikiranku sekarang dan memaksa untuk dimuntahkan sesegera mungkin. Gelap kurasa dunia yang berguncang ini. Sontak aku menuju meja mereka dan bersiap untuk melabrak; namun, langkahku terhenti oleh kehadiran Stephen di muka. Airmata sudah hampir meluap bersamaan dengan amarah yang sudah dipendam sedari pagi.

"Barang ini mungkin bisa menyelamatkanmu...", katanya sambil menyerahkan flashdisk. "Ditunggu ucapan terima kasihnya ya. Minimal traktir aku makan malam ini".

Dengan keadaan setengah sadar aku mengecek isinya....dan VOILA! Semua data yang kubutuhkan ada di dalamnya. Airmata yang tertahan pun tertumpah dengan ucapan syukur....bukan umpatan. Baru saja mau mengucapkan, Stephen sudah berangkat menuju meja pertemuan.

 Ah, benar juga. Nanti saja dilanjutkan perayaannya...di rumahku.

------------------------------------------------------****-------------------------------------------------

"Hanya sebatas ini, rasa terima kasihnya? Sudah dua kali loh aku menyelamatkan hidupmu", sindirnya sambil terkekeh.

"Oh....tenang aja. Malam ini kamu akan kuberikan service lengkap dan spesial, dengan syarat harus menginap".

"Aah, masakan harus menginap? Sudah ada janji dengan klien ku malam ini, Gina. Ga bisa. Ntar rusak ladang periuk emasku. Hahaha!". 

Si Stephen ini dengan cueknya menolak tawaranku sambil menghabiskan lauk makan malam plus Smoked Spicy Beef Tortilla kesukaannya. Belum lagi jus buah dan es krim yang menunggu antrian dalam kulkas. Perut Sumur.

"Ehm, okee. Tapii...bukannya kamu harus memperhatikan keadaan kulitmu sebagai penunjang kegiatan sampinganmu itu? Lihat...berapa banyak gula dan lemak lainnya yang menumpuk di badanmu sekarang? Lihat wajahmu sekarang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Kita sudah dua minggu ini harus bergadang demi laporan saat meeting tadi pagi , kan? Kalau ga percaya, biar kuambilkan cermin!"

Stephen terdiam sejenak lalu melanjutkan menghabiskan semua sesajen yang ada di hadapannya....juga yang ada di dalam kulkas. Kubiarkan dia begitu sambil melihatnya memasang wajah serius. Lima belas menit kemudian semua upeti dariku telah habis disantapnya. Sepertinya dia masih berpikir dengan serius. Kalau begitu, kutinggalkan saja dia sendiri sambil membereskan sisa-sisa makanan ini.

Tak lama berselang, aku merasa dia menempelkan wajahnya di pundakku dengan manja. 

"Kamu janji dengan klien jam berapa?".

"Jam 11 malam nanti....", jawabnya dengan lemah
.
"Ya sudah, ga usah menginap; tetapi tetap jalankan saja salah satu service yang sudah kusiapkan khusus untukmu. Sebelum jam 9 sudah kelar kok, janji deh". 

Spontan Stephen langsung meraih cucian piring dan gelas untuk dibereskan di rak. Setelah itu dia langsung menarikku meninggalkan dapur. Buset, ga sabaran amat ini orang.

------------------------------------------------------****-------------------------------------------------

"Gimana, service ku yang sekarang kamu terima. Nyaman kan? Sesuai kebutuhan , kan?"

"Asli. Memang ini yang kuperlukan. Thanks loh, Gin".

Kami tersenyum sambil bertatapan dan menikmati pijatan refleksi yang menyelamatkan syaraf-syaraf tubuh lelah kami .

"Oh, God. Sudah satu bulan tubuhku ga dimanja seperti ini. Surga bangeeettttt.....". Celotehan dia akhirnya memancing senyum pegawai Spa ini.

 "Mbak Stephanie beruntung banget punya sobat seperti mbak Regina yang mengerti kebutuhan...sangat perhatian".

 "Denger tuh apa katanya barusan. Kamu jangan itung-itungan sama aku yaa", ucapku menyindir Stephanie....atau lebih dikenal sebagai Stephen.

"Aaah sudahlah. Jangan banyak ngedumel. Ntar rusak masker yang ada di wajah". Sontak mbak-mbak pegawai itu pada cekikikan geli melihat pertengkaran kecil kami barusan.

------------------------------------------------------****-------------------------------------------------

Mobil kuparkir di depan salah satu gedung Cafe tempat Stephen bekerja sampingan.
 "Kamu bukannya mau jumpa klien? Kok ke cafe ini?".

"Iyaa, kliennya mau lihat aku perform dengan teman2. Kalau dirasa cocok ya baru ada pembicaraan selanjutnya".

"Okelah, Good Luck ya. Jangan sampe berbuat hal-hal konyol. Kalau ada tingkah laku yang mencurigakan kamu langsung aja kabur, jangan ikut-ikutan. Aku gak mau denger berita kamu ketangkap ataupun terlibat masalah....". Belum selesai aku berbicara, Stephen langsung memeluk erat sambil membisikkan pesan kepadaku untuk tidak perlu mengkhawatirkan keadaannya.

Aku hanya bisa memperhatikan punggungnya yang pergi meninggalkan mobilku menuju Cafe itu dengan terburu-buru. Jalanan sekitar masih sangat sepi. Wajar saja, karena mobilku diparkir di pintu rahasia yang hanya orang tertentu saja boleh melewatinya. Mengingat jenis pekerjaan yang dilakoni....kemanan cafe itu bisa terjamin. Tapi, rasa khawatirku tetap saja menghantui. 

Kalau bukan karena latar kehidupannya yang memaksa Stephen a.k.a Stephanie mengambil jalur seperti ini. 

Ah, aku hanya bisa berharap dia bisa melewati hidupnya malam ini dengan baik dan selamat.


---------------------------------------- TO BE CONTINUED ------------------------------------------- 

Senin, 03 Februari 2014

Invisible Cracks.....Bagian Pertama

Ga ada SATUPUN makhluk di bawah kolong langit ini memiliki kesempurnaan 100%

"REGINA...!!!".....Ah...ayolah masih terlalu pagi buatku untuk meladeni ini lagi.

GUBRAK! Bunyi keras itu disambut dengan erangan dan hamburan coklat dan mawar di lantai keramik. Hatiku cukup iba untuk membiarkan hal ini. Kuulurkan tanganku sambil menyeka rambut sambil berharap orang ini baik-baik saja. Ah, tatapan ini lagi. Dia sepertinya tersihir dan melupakan rasa sakit dan kejadian bodoh barusan. Setelah membantu memposisikan badannya, sekonyong-konyong aku ditarik dan mataku berjarak hanya beberapa senti dari matanya. "Regina, aku...", PLAK!!!

Ku tinggalkan dia termangu dengan menahan perih di pipi...hadiah dariku. Ya...dia....salah satu dari, katanya, pengagum dan yang tak pernah lelah memberikan "perhatian" seperti tadi. Hadiah barusan, sepertinya bukan untuk pertama atau kedua kalinya kuberikan. ENGGA ADA KAPOK-KAPOKNYA! MUAK!

Aku melangkah menuju ruangan bagaikan tentara samurai yang siap menebas siapapun dan apapun penghalang di jalan.

Tapi...oh....tepat sekali, aku berjumpa dengan "tong sampahku" di persimpangan lorong menuju perpustakaan. Stephen.....sejenak termangu melihat keadaanku kemudian tersenyum. Keadaanku yang persis seperti kuda sehabis mengikuti track balapan selama beberapa kilometer jauhnya. "Repot ya, pagi2 sudah meladeni fans?" , katanya sembari membereskan penampilanku yang-sungguh-amat-sangat-ga-banget-plus-mengerikan. Rasanya nyaman....walau dia tidak menggunakan jurus rayuan maut atau banyak berbicara. Lalu dia menarik tanganku meninggalkan lorong menuju toilet. "Ayo, bereskan dulu penampilanmu sembari aku membelikan hot milktea kesukaanmu", Ah...Stephen memang tahu apa yang kusuka.

Seperti anak kecil....dengan patuhnya aku mengangguk dan ngacir ke dalam salah satu bilik untuk menyingkirkan sampah dan membereskan rambut serta bajuku. Benar-benar menjijikkan! Campuran kepingan coklat, kelopak mawar, ada di rambut, baju, serta tanganku! Argh! Inilah rentetan kejadian yang menjadi sumpahku...tidak akan terulang untuk kesekian kalinya. Tidak esok ataupun hari-hari lainnya...CUKUP!

"Aah....Regina mah emang gituuu! Doi pasti sombong karena kejadian tadi. Gila aja ya berani bener tampar dan menolak Juan, si cowo idaman kampus kita tadi pagi. Trus, hadiah yang dibawa diinjak2!! Iissh...kalau aku jadi dia gabakal nolak.". "Ahahaha, kamu mah sama siapa aja asalkan seperti Juan jadi koleksi juga gapapa kan?". "Iyaa, trus hadiah-hadiahnya bakal dijual lagi ke penadah supaya tambah modal". "Engga puas apa dengan uang saku dari si Om?"

Yupp....segerombolan cewe berisik tukang ngegossip mulai beraksi. Untung cepet2 kuambil recorder dan kurekam semua pembicaraan mereka. Mereka? Yak...dalam scene mereka adalah "Best Friend Forever-nya Regina"....tapi bagiku mereka adalah kutu-kutu. Hinggap ke tempat dimana mereka bisa menghisap darah sampai kenyang lalu loncat ke tempat lain sambil meninggalkan rasa gatal di tubuh induk semang. Simbiosis Parasitisme.

Dengan tenang kunikmati cercaan dan kicauan mereka sambil merekam dan membereskan penampilanku. Setelah mereka meninggalkan tempat barulah aku keluar mengendap-endap. Dan, Stephen sudah menunggu lama di lorong lain. "Kamu dengar semua omongan mereka pas di dalam?", tanya nya. "Yup, dan sudah kurekam seperti biasanya. Gila ya....Tuhan baik banget bisa sering mengatur moment kaya tadi. Hahhaha!". Stephen tidak tertawa...dia memandang dengan sinis lalu menghela nafas berat. "Nih, pesananmu...ada dapat bonus". Yess, hot milktea dengan bonus vanilla cream shake yang tebal diatasnya. Tidak memerlukan waktu lama bagiku untuk menghabiskan minuman favoritku itu...semacam candu.

Tak lama kami berjalan, akhirnya aku dan Stephen tiba di ruangan proyek praktek kami. Sebagai mahasiswa tingkat atas....kami sudah lumayan sering menghabiskan waktu untuk berdiskusi dan merancangkan penyelesaian tugas dari Tutor dalam ruangan khusus. Aku dan Stephen berada di ruangan yang sama namun berbeda bagian. Stephen di bagian Kreatif sedangkan aku, Regina, di bagian perencanaan.

"REGINAAA....!!!".

Ya, Tuhan ada apa hari ini? Tak bisakah aku tenang daripada suara dan intonasi seperti ini barang satu hariiiiii saja?

"REGINA! Kamu dari mana aja? Kupikir kamu sakit jadi ga masuk loohh".
"Loh, kok pikirannya gitu, Nes?".
"Denger-denger tadi pagi kamu jatoh karena si Juan",
 "Eh...gimana ceritanya sih? Kalian habis ngapain ajaaaa?".
 Agnes, Qania, dan Nila....trio rempong bin heboh ini berkicau lagi dengan kuantitas desibel yang tinggi.

Oh...kesabaranku mulai meluap dari tempatnya semenjak sindiran mereka di toilet tadi. "Terpeleset doang, kok", jawabku sambil mendekatkan gelas milktea ke mulutku. Tiba-tiba gelasku sudah direbut dan berpindah tangan ke Qania. "Hmm...pantesan aja kamu sering beli ini. Emang enak sih yaaa...Ahahahahaha!". Oh, astaga demi apapun itu. Lain kali kalau aku bawa ke hadapan mereka.....isinya sudah terlebih dahulu kucampur obat pencahar ekstra kuat.

"Ya udah, lain kali kubelikan juga buatmu", jawabku datar
"Eh, beneran yaa? Asikk...Regina baik bangeet!". Aku hanya menyambut dengan senyuman sinis. Baiklah...kita jalankan rencanaku besok.

Tak ingin menambah masalah, kuputuskan untuk mengambil segelas air dingin sambil menuju meja kerja. Masih ada beberapa menit sebelum koordinator proyek ini datang dan memulai meeting pagi yang membosankan. Mungkin masih ada beberapa yang bisa kukerjakan sebagai persiapan. Kuhempaskan tubuhku ke kursi dan menyalakan PC untuk membuka beberapa file yang sudah dipersiapkan sebagai laporan meeting nanti.

Tapi......dimana file-file itu?

Dengan panik aku mencari di recently open sampai ke recycle bin. Namun tidak ada satupun data yang kucari tertinggal manis didalamnya. TIDAK ADA SATUPUN

Entah kenapa aku mendengar suara cekikikan mereka bertiga sambil melirik ke arahku....lalu berlalu menjauh.

KALIAN.....!!!!!!!!

Ah....tamatlah aku! Tidak sampai 15 menit lagi pimpinan proyek datang!


-------------- TO BE CONTINUED ------------------