Selasa, 04 Februari 2014

Invisible Cracks......Bagian Kedua

Kekalutan dan kecemasan memeluk erat pikiranku sekarang dan memaksa untuk dimuntahkan sesegera mungkin. Gelap kurasa dunia yang berguncang ini. Sontak aku menuju meja mereka dan bersiap untuk melabrak; namun, langkahku terhenti oleh kehadiran Stephen di muka. Airmata sudah hampir meluap bersamaan dengan amarah yang sudah dipendam sedari pagi.

"Barang ini mungkin bisa menyelamatkanmu...", katanya sambil menyerahkan flashdisk. "Ditunggu ucapan terima kasihnya ya. Minimal traktir aku makan malam ini".

Dengan keadaan setengah sadar aku mengecek isinya....dan VOILA! Semua data yang kubutuhkan ada di dalamnya. Airmata yang tertahan pun tertumpah dengan ucapan syukur....bukan umpatan. Baru saja mau mengucapkan, Stephen sudah berangkat menuju meja pertemuan.

 Ah, benar juga. Nanti saja dilanjutkan perayaannya...di rumahku.

------------------------------------------------------****-------------------------------------------------

"Hanya sebatas ini, rasa terima kasihnya? Sudah dua kali loh aku menyelamatkan hidupmu", sindirnya sambil terkekeh.

"Oh....tenang aja. Malam ini kamu akan kuberikan service lengkap dan spesial, dengan syarat harus menginap".

"Aah, masakan harus menginap? Sudah ada janji dengan klien ku malam ini, Gina. Ga bisa. Ntar rusak ladang periuk emasku. Hahaha!". 

Si Stephen ini dengan cueknya menolak tawaranku sambil menghabiskan lauk makan malam plus Smoked Spicy Beef Tortilla kesukaannya. Belum lagi jus buah dan es krim yang menunggu antrian dalam kulkas. Perut Sumur.

"Ehm, okee. Tapii...bukannya kamu harus memperhatikan keadaan kulitmu sebagai penunjang kegiatan sampinganmu itu? Lihat...berapa banyak gula dan lemak lainnya yang menumpuk di badanmu sekarang? Lihat wajahmu sekarang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Kita sudah dua minggu ini harus bergadang demi laporan saat meeting tadi pagi , kan? Kalau ga percaya, biar kuambilkan cermin!"

Stephen terdiam sejenak lalu melanjutkan menghabiskan semua sesajen yang ada di hadapannya....juga yang ada di dalam kulkas. Kubiarkan dia begitu sambil melihatnya memasang wajah serius. Lima belas menit kemudian semua upeti dariku telah habis disantapnya. Sepertinya dia masih berpikir dengan serius. Kalau begitu, kutinggalkan saja dia sendiri sambil membereskan sisa-sisa makanan ini.

Tak lama berselang, aku merasa dia menempelkan wajahnya di pundakku dengan manja. 

"Kamu janji dengan klien jam berapa?".

"Jam 11 malam nanti....", jawabnya dengan lemah
.
"Ya sudah, ga usah menginap; tetapi tetap jalankan saja salah satu service yang sudah kusiapkan khusus untukmu. Sebelum jam 9 sudah kelar kok, janji deh". 

Spontan Stephen langsung meraih cucian piring dan gelas untuk dibereskan di rak. Setelah itu dia langsung menarikku meninggalkan dapur. Buset, ga sabaran amat ini orang.

------------------------------------------------------****-------------------------------------------------

"Gimana, service ku yang sekarang kamu terima. Nyaman kan? Sesuai kebutuhan , kan?"

"Asli. Memang ini yang kuperlukan. Thanks loh, Gin".

Kami tersenyum sambil bertatapan dan menikmati pijatan refleksi yang menyelamatkan syaraf-syaraf tubuh lelah kami .

"Oh, God. Sudah satu bulan tubuhku ga dimanja seperti ini. Surga bangeeettttt.....". Celotehan dia akhirnya memancing senyum pegawai Spa ini.

 "Mbak Stephanie beruntung banget punya sobat seperti mbak Regina yang mengerti kebutuhan...sangat perhatian".

 "Denger tuh apa katanya barusan. Kamu jangan itung-itungan sama aku yaa", ucapku menyindir Stephanie....atau lebih dikenal sebagai Stephen.

"Aaah sudahlah. Jangan banyak ngedumel. Ntar rusak masker yang ada di wajah". Sontak mbak-mbak pegawai itu pada cekikikan geli melihat pertengkaran kecil kami barusan.

------------------------------------------------------****-------------------------------------------------

Mobil kuparkir di depan salah satu gedung Cafe tempat Stephen bekerja sampingan.
 "Kamu bukannya mau jumpa klien? Kok ke cafe ini?".

"Iyaa, kliennya mau lihat aku perform dengan teman2. Kalau dirasa cocok ya baru ada pembicaraan selanjutnya".

"Okelah, Good Luck ya. Jangan sampe berbuat hal-hal konyol. Kalau ada tingkah laku yang mencurigakan kamu langsung aja kabur, jangan ikut-ikutan. Aku gak mau denger berita kamu ketangkap ataupun terlibat masalah....". Belum selesai aku berbicara, Stephen langsung memeluk erat sambil membisikkan pesan kepadaku untuk tidak perlu mengkhawatirkan keadaannya.

Aku hanya bisa memperhatikan punggungnya yang pergi meninggalkan mobilku menuju Cafe itu dengan terburu-buru. Jalanan sekitar masih sangat sepi. Wajar saja, karena mobilku diparkir di pintu rahasia yang hanya orang tertentu saja boleh melewatinya. Mengingat jenis pekerjaan yang dilakoni....kemanan cafe itu bisa terjamin. Tapi, rasa khawatirku tetap saja menghantui. 

Kalau bukan karena latar kehidupannya yang memaksa Stephen a.k.a Stephanie mengambil jalur seperti ini. 

Ah, aku hanya bisa berharap dia bisa melewati hidupnya malam ini dengan baik dan selamat.


---------------------------------------- TO BE CONTINUED ------------------------------------------- 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar