Kekalutan dan kecemasan memeluk erat pikiranku sekarang dan memaksa untuk
dimuntahkan sesegera mungkin. Gelap kurasa dunia yang berguncang ini. Sontak
aku menuju meja mereka dan bersiap untuk melabrak; namun, langkahku terhenti
oleh kehadiran Stephen di muka. Airmata sudah hampir meluap bersamaan dengan
amarah yang sudah dipendam sedari pagi.
"Barang ini mungkin bisa menyelamatkanmu...", katanya sambil
menyerahkan flashdisk. "Ditunggu ucapan terima kasihnya ya. Minimal
traktir aku makan malam ini".
Dengan keadaan setengah sadar aku mengecek isinya....dan VOILA! Semua data
yang kubutuhkan ada di dalamnya. Airmata yang tertahan pun tertumpah dengan
ucapan syukur....bukan umpatan. Baru saja mau mengucapkan, Stephen sudah
berangkat menuju meja pertemuan.
Ah, benar juga. Nanti saja dilanjutkan
perayaannya...di rumahku.
------------------------------------------------------****-------------------------------------------------
"Hanya sebatas ini, rasa terima kasihnya? Sudah dua kali loh aku
menyelamatkan hidupmu", sindirnya sambil terkekeh.
"Oh....tenang aja. Malam ini kamu akan kuberikan service lengkap dan
spesial, dengan syarat harus menginap".
"Aah, masakan harus menginap? Sudah ada janji dengan klien ku malam
ini, Gina. Ga bisa. Ntar rusak ladang periuk emasku. Hahaha!".
Si Stephen
ini dengan cueknya menolak tawaranku sambil menghabiskan lauk makan malam plus
Smoked Spicy Beef Tortilla kesukaannya. Belum lagi jus buah dan es krim yang
menunggu antrian dalam kulkas. Perut Sumur.
"Ehm, okee. Tapii...bukannya kamu harus memperhatikan keadaan kulitmu
sebagai penunjang kegiatan sampinganmu itu? Lihat...berapa banyak gula dan
lemak lainnya yang menumpuk di badanmu sekarang? Lihat wajahmu sekarang sudah
mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Kita sudah dua minggu ini harus
bergadang demi laporan saat meeting tadi pagi , kan? Kalau ga percaya, biar
kuambilkan cermin!"
Stephen terdiam sejenak lalu melanjutkan menghabiskan semua sesajen yang
ada di hadapannya....juga yang ada di dalam kulkas. Kubiarkan dia begitu sambil
melihatnya memasang wajah serius. Lima belas menit kemudian semua upeti dariku
telah habis disantapnya. Sepertinya dia masih berpikir dengan serius. Kalau
begitu, kutinggalkan saja dia sendiri sambil membereskan sisa-sisa makanan ini.
Tak lama berselang, aku merasa dia menempelkan wajahnya di pundakku dengan
manja.
"Kamu janji dengan klien jam berapa?".
"Jam 11 malam nanti....", jawabnya dengan lemah
.
"Ya sudah, ga usah menginap; tetapi tetap jalankan saja salah satu
service yang sudah kusiapkan khusus untukmu. Sebelum jam 9 sudah kelar kok,
janji deh".
Spontan Stephen langsung meraih cucian piring dan gelas untuk
dibereskan di rak. Setelah itu dia langsung menarikku meninggalkan dapur.
Buset, ga sabaran amat ini orang.
------------------------------------------------------****-------------------------------------------------
"Gimana, service ku yang sekarang kamu terima. Nyaman kan? Sesuai
kebutuhan , kan?"
"Asli. Memang ini yang kuperlukan. Thanks loh, Gin".
Kami tersenyum sambil bertatapan dan menikmati pijatan refleksi yang
menyelamatkan syaraf-syaraf tubuh lelah kami .
"Oh, God. Sudah satu bulan
tubuhku ga dimanja seperti ini. Surga bangeeettttt.....". Celotehan dia
akhirnya memancing senyum pegawai Spa ini.
"Mbak Stephanie beruntung
banget punya sobat seperti mbak Regina yang mengerti kebutuhan...sangat
perhatian".
"Denger tuh apa katanya
barusan. Kamu jangan itung-itungan sama aku yaa", ucapku menyindir
Stephanie....atau lebih dikenal sebagai Stephen.
"Aaah sudahlah. Jangan banyak ngedumel. Ntar rusak masker yang ada di
wajah". Sontak mbak-mbak pegawai itu pada cekikikan geli melihat
pertengkaran kecil kami barusan.
------------------------------------------------------****-------------------------------------------------
Mobil kuparkir di depan salah satu gedung Cafe tempat Stephen bekerja
sampingan.
"Kamu bukannya mau jumpa klien?
Kok ke cafe ini?".
"Iyaa, kliennya mau lihat aku perform dengan teman2. Kalau dirasa
cocok ya baru ada pembicaraan selanjutnya".
"Okelah, Good Luck ya. Jangan sampe berbuat hal-hal konyol. Kalau ada
tingkah laku yang mencurigakan kamu langsung aja kabur, jangan ikut-ikutan. Aku
gak mau denger berita kamu ketangkap ataupun terlibat masalah....". Belum
selesai aku berbicara, Stephen langsung memeluk erat sambil membisikkan pesan
kepadaku untuk tidak perlu mengkhawatirkan keadaannya.
Aku hanya bisa memperhatikan punggungnya yang pergi meninggalkan mobilku
menuju Cafe itu dengan terburu-buru. Jalanan sekitar masih sangat sepi. Wajar
saja, karena mobilku diparkir di pintu rahasia yang hanya orang tertentu saja
boleh melewatinya. Mengingat jenis pekerjaan yang dilakoni....kemanan cafe itu
bisa terjamin. Tapi, rasa khawatirku tetap saja menghantui.
Kalau bukan karena
latar kehidupannya yang memaksa Stephen a.k.a Stephanie mengambil jalur seperti
ini.
Ah, aku hanya bisa berharap dia bisa melewati hidupnya malam ini dengan
baik dan selamat.
---------------------------------------- TO BE CONTINUED
-------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar