Kalau kuingat-ingat, selama ini
Stephen menceritakan perihal pekerjaan dengan tidak begitu mendetail. Hanya
mengenai pekerjaan yang mengandung resiko tinggi kalau tidak berhati-hati dan
kelihaian dalam menyamar sangat dibutuhkan. Akupun tidak pernah diperbolehkan
masuk ke dalam café itu. Sepertinya penjaga sudah diberikan pesan agar aku
hanya diperbolehkan mengantar atau menjemput di luar café saja.
Sempat kutebak-tebak dan kuungkapkan
kepadanya langsung. Mulai dari germo, pengedar narkoba, penari striptis,
penjaga para pelacur yang ada disana saat “beraksi”….tidak ada satupun yang
dijawabnya dengan jelas, hanya terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepala. Ah,
geram jadinya. Sejak saat itulah aku menyerah mengurusi kehidupan malamnya itu.
Yang penting dia selalu ada di saat aku butuh, begitu pula aku.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~******~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tiba-tiba aku terbangun. Aku mengecek handphone terdapat puluhan panggilan tak terjawab. Stephen. Dia menelfon sejak dua jam yang lalu. Seketika itu juga aku merasakan bulu romaku berdiri. Stephen tidak pernah-pernahnya melakukan hal seperti ini. Sewaktu kucoba menelfon kembali tidak ada jawaban yang kuperoleh. Hanya nada tunggu dan diakhiri dengan mailbox. Perutku serasa melilit dan kepalaku tiba-tiba terasa berat. Sepertinya ada firasat yang tidak enak.
Untuk menenangkan diri aku berjalan menuju dapur untuk mengambil air hangat. Namun, alangkah kagetnya aku ketika melihat pintu belakang di samping dapur terbuka. Aku langsung mencari panci penggorengan sebagai senjata untuk membela diri, lalu berjalan mengendap menuju pintu itu.
“STEPHEN….!!!!”
Sontak aku berlari menuju tubuh Stephen yang berlumuran darah di bawah pintu belakang dapur. Wajahnya sudah dingin dan pucat. Aku mengecek kembali ke arah pintu luar apakah ada seseorang yang bersembunyi. Tidak ada. Hanya jejak darah Stephen yang tercecer dari pagar hingga pintu belakang ini. Tak lama kusembunyikan tubuh Stephen dan kubersihkan jejak darahnya dengan air dan karbol. Aku tak mau ada kecurigaan yang mengusik ketenanganku ini. Setidaknya sampai kuperoleh cerita dari Stephen sendiri mengenai apa yang sebenarnya telah terjadi.
Seusai
“pembersihan” itu, aku menuju ruangan dapur dan menyiapkan air hangat dan
handuk bersih. Kucoba membersihkan luka-luka yang ada di wajahnya. Untunglah
dia tidak mengalami luka tusuk di badannya. Sepertinya dia dihajar dengan benda
tumpul. Apakah kali ini dia lengah dan ketahuan polisi? Segala pikiran jelek
berkecamuk dalam kepalaku hingga membuatku mual. Aku seperti pengasuh bayi yang
membersihkan badan Stephen yang tidak berdaya ini. Terpaksa tubuhnya kulilit
dengan kain panjang karena pakaiannya sudah kumasukkan ke dalam plastic hitam
untuk dibuang dan dibakar. Upaya menghilangkan jejak. Itulah yang sedang
kulakukan sekarang, dari pakaian, halaman depan, hingga lantai dapur ini;
kuupayakan tidak ada lagi jejak darah Stephen yang tercecer.
“Hey, Stephen. Apa kau mendengarku?
Hey!” , kutepuk pipinya dengan harapan dia tidak pingsan. Untunglah dia bisa
menggerakkan sedikit bibirnya. Kuraih air hangat ke mulutnya dan dia berusaha
untuk menelannya. Dengan susah payah kubawa dia ke kamarku. Setidaknya bebanku
agak berkurang karena yang kugotong bukan orang yang sedang pingsan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~***********~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
05.30 AM
Hari sudah berganti dan Stephen masih
belum membuka matanya. Sempat terpikir untuk izin tidak masuk pada hari ini; tetapi,
kecurigaan akan timbul ketika tau Stephen juga tidak hadir. Apalagi kalau sudah
beredar rumor mengenai dia. Aduh, mual rasanya! Terpaksa aku membereskan file
dan bersiap membuat sarapan. Entah kenapa aku ingin menghidupkan televise pagi
ini. Sesekali menonton berita gossip selebriti ga ada salahnya, pikirku sambil
tersenyum geli. Baru kali ini aku merasakan suasana lain saat mempersiapkan
sarapan sambil menghidupkan televisi. Terkadang seperti orang gila dibuatnya,
tertawa sendiri melihat berita dan tingkah konyol selebritis itu dengan segala
sensasinya. Biasanya aku mempersiapkan sarapan untuk dibawa di perjalanan
sambil diburu oleh waktu. Jarang sekali ada kesempatan untuk sekedar santai di
depan televisi di rumah. Mungkin karena ingin mempersiapkan untuk “orang lain”
yang ada di rumah. Ya, mungkin saja. Ah…lagi-lagi aku tersenyum sendiri.
Entah kenapa aku meraih remote dan
mengganti saluran, mungkin karena sudah mulai bosan dengan selebritas itu.
Saatnya melihat berita serius yang berbobot.
“Berita
pagi ini. Telah terjadi keributan besar di sebuah café kawasan kota M pada
pukul 01.35 dini tadi. Keributan ini berasal dari pihak sekuriti yang lengah
dan membiarkan seorang pemuda menyusup di ruang ganti artis. Diduga pelaku
tersebut menyusup masuk dan menyerang salah satu artis disana. Menurut
keterangan saksi, artis tersebut diseret menuju pintu belakang; akan tetapi,
berhasil dicegah oleh seorang pemuda lain yang kemudian menjadi korban
penganiayaan pelaku.
Ketika
pihak keamanan hendak turun tangan, pelaku telah memanggil teman-temannya sehingga
menimbulkan keributan besar. Hingga kini, pemuda yang dianiaya beserta pelaku
tidak dapat diidentifikasi keberadaannya. Kini pihak kepolisian hendak
memeriksa teman-teman pelaku tersebut. Diduga mereka hanyalah preman yang
dibayar oleh pelaku.”
Sontak jantungku berdegub kencang. Café
di kota M? Jangan-jangan disitu tempat Stephen bekerja. Dia kutemukan di depan
pintu rumah sekitar jam 4 dini hari dengan keadaan babak belur. Call history
dimana dia berkali-kali berusaha menghubungiku dari dua jam sebelumnya.
Potongan-potongan puzzle tersebut berkerumun dan mengeroyok logika yang ada. Aku
berlari menuju kamar namun tidak kutemukan Stephen di atas ranjangku. Dengan
kalut aku mencari di penjuru rumah. Saat hendak kembali ke dapur aku terpeleset
dan terjatuh. Ada seseorang yang menyekap mulut dan hidungku dengan bius.
Siapa? Stephen, kamu dimana? Tolong……..
------------------------------------ ---------TO BE CONTINUED
-----------------------------------