Tididid….Tididid…Tididid….
“ Argh, menyebalkan
sekali suara alarm ini membuat kepalaku pusing”, gumamku sambil menggosokkan
mata. Tiba-tiba aku teringat akan Stephen dan kejadian semalam. Sontak badanku
seperti melompat dari tempat tidur. “Apa? Aku sudah diatas tempat tidur?”,
alangkah kagetnya saat kulihat jam alarm sudah menunjukkan pukul 05.30 pagi.
Apa-apaan ini? Bukankah seharusnya tidak seperti ini? Bukankah seharusnya aku
sedang mencari Stephen dan terjatuh di dapur? Siapa yang membiusku? Segala teka-teki
itu membuat kepalaku berdenyut nyeri. Kuraih handphone ku dan memutuskan untuk
tidak hadir pada hari ini…kepalaku sakit sekali. Aku perlu waktu untuk
meluruskan yang sudah kualami tadi. Badanku terasa lemas .
Ah….aku memang
membutuhkan istirahat dari segala rutinitasku yang harus bertemu dengan
orang-orang yang menyebalkan itu. Menjauhkan diri dari segala tugas-tugas dan
segala tatapan yang mengganggu itu barang sehariiii saja. Baiklah, hari ini aku
akan membusuk disini. Hanya untuk hari ini.
Setengah jam
berlalu dan aku hanya membolak-balikkan badan dengan gelisah. Merasa tidak
tahan , akhirnya kuputuskan mencuci seprai dan membereskan rumah; ini lebih
baik daripada hanya bengong dan tidak melakukan sesuatu.
---------------------------------**********------------------------------------------
Aku merasa bangga
dengan hasil kerjaku di rumah ini. Rumah yang selama ini jarang mendapat
“sentuhan” kini terasa sangat luas, bersih, jauh lebih nyaman dari sebelumnya.
Senyuman lebarku seketika menghilang saat aku melihat bungkusan hitam di tong
sampah. Dengan hati-hati aku menghampiri dan membuka isinya. Rupanya aku masih
merasa penasaran dengan kejadian itu.
Ternyata yang
kutemukan bukanlah pakaian Stephen semalam atau kain yang kugunakan untuk
membersihkan “jejak”; melainkan tumpukan sampah dari dua hari yang lalu, yang
belum sempat kubakar. Jidatku berkerut dan mulai merasa nyeri. Apa maksudnya
semua ini? Masakan aku hanya bermimpi? Kucoba meraih tangan dan kakiku untuk
melihat apakah ada tanda-tanda memar karena terjatuh. Tidak ada yang kutemukan.
Ah, berarti itu hanya mimpi. Aku mencoba mengulangi kata-kata tersebut untuk
membentuk suatu sugesti. Yap, ha-nya mim-pi.
Setelah membereskan
rumah aku membereskan badan ini yang sudah mulai membusuk. Hahaha….lega rasanya
sudah mengeluarkan keringat karena melakukan aktivitas yang menenangkan jiwa.
Barulah semua sampah-sampah yang ada kubawa ke depan untuk dibakar.
“Rajin sekali
pagi-pagi membereskan rumah!”, “Ahaha…sesekali bu. Rumah ini sudah hampir
berbulan-bulan tidak terurus”. Ibu Emi, tetanggaku sedang menyapu halaman dan
melihat seorang gadis yang selama ini jarang telihat. Mungkin saja ibu Emi
merasa heran dengan diriku yang berangkat dari rumah saat pagi-pagi buta dan
pulang ketika malam hari menjelang. Akupun menyapa Pak Bram yang sedang santai
di teras rumahnya. Namun, aku merasa harus mampir kesana.
Setelah kuperiksa
dan kukunci semua pintu dan jendela rumah, kuputuskan untuk ke tetangga yang
sudah seperti orangtuaku. Bapak Bram dan Ibu Emi pun menyambut kedatanganku
dengan hangat. Kami mengobrol dengan lancar sambil menyantap sarapan pagi
buatan ibu Emi. Ah, kehangatan ini sangat kurindukan. Semenjak hari itu….
Alangkah
terkejutnya saat aku melihat Koran pagi yang sedang dibaca pak Bram. Mungkin
karena melihat wajahku yang penasaran, pak Bram menyodorkan Koran itu untuk
kubaca.
Café di kota M
Dikelilingi PoliceLine dan Melumpuhkan Kegiatan Operasional Sementara
“Telah
terjadi keributan besar di sebuah café kawasan kota M pada pukul 01.35 dini
tadi. Keributan ini berasal dari pihak sekuriti yang lengah dan membiarkan
seorang pemuda menyusup di ruang ganti artis. Diduga pelaku tersebut menyusup
masuk dan menyerang salah satu artis disana. Menurut keterangan saksi, artis
tersebut diseret menuju pintu belakang; akan tetapi, berhasil dicegah oleh
seorang pemuda lain yang kemudian menjadi korban penganiayaan pelaku.
Ketika
pihak keamanan hendak turun tangan, pelaku telah memanggil teman-temannya
sehingga menimbulkan keributan besar. Hingga kini, pemuda yang dianiaya beserta
pelaku tidak dapat diidentifikasi keberadaannya. Kini pihak kepolisian hendak
memeriksa teman-teman pelaku tersebut. Diduga mereka hanyalah preman yang
dibayar oleh pelaku.”
PERSIS!
“Ada apa, nak?
Kenapa wajahmu seperti itu?”, suara pak Bram menyadarkanku dari lamunan. Ibu
Emi menatapku dengan wajah yang terheran-heran. “Berita ini menarik.
Saya….merasa seperti menonton cuplikan adegan film detektif. Hahaha!”, aku
mencoba menjawab seadanya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Kami melanjutkan
obrolan hingga menjelang siang hari. Rasanya tidak enak kalau berlama-lama
disini.
Dalam perjalanan
menuju pintu rumah, kepalaku kembali berkecamuk dengan potongan-potongan puzzle
ini. Sugesti yang sudah susah payah kubangun sepertinya harus ditepis. Dari
dalam rumah kudengar suara televisi yang menyala. Aku berlari menuju pintu
belakang yang sekonyong-konyong sudah terbuka. Astaga, apa lagi ini?!
Jantungku serasa
mau melompat saat kulihat sosok pemuda yang mengobrak-abrik lemari es dapur.
“Stephen??”
“Oh, Hai! Aduh!”, kepala Stephen terbentur rak
lemari es karena terlalu terburu-buru menyapaku. “Kenapa kamu tidak hadir hari
ini?”. Pertanyaan yang aneh, pikirku. Aku mulai merancang suatu kecurigaan
padanya.
“Sesekali ingin
menjauh dan membereskan “sesuatu””, jawabku sambil mengangkat bahu.
“Yeah, bisa kulihat
rumahmu jauh lebih tertata rapi dan….sesekali bersosialisasi dengan tetangga
itu tidak salah kok”, jawabnya sambil melengkungkan cengiran khas Stephen.
“Berarti kamu sudah
lama disini. Kenapa tidak nimbrung saja tadi?”
“Males ah, obrolan
orangtua”
Sial.
“Jangan cemberut
gitu, Gina. Manismu ntar berkurang loh. Tuh, kubawakan makanan dan minuman
kesukaanmu; PLUS buah-buahan. Eh, tapi kayaknya buah sekeranjang itu kutarik
deh…kukira kamu sakit”
“Terserah”, jawabku
sambil berlalu menuju ruang tengah.
Tanganku ditarik Stephen dan dia
mendekatkan dahinya di dahiku. Cukup lama.
“Ah…aku tidak
berhasil membaca pikiranmu”
“Apa maksudmu?”
“Ada sesuatu yang
ingin kamu katakan padaku?”, dia berkata seperti itu sambil tersenyum.
Sialan.
Bukankah terbalik, seharusnya kamu yang menceritakan “sesuatu” padaku? Tentang
kejadian semalam….setelah aku mengantarmu bekerja. Apa yang terjadi di Café
itu?
Tidak ada sepatah
katapun yang terucap dari mulutku. Aku hanya menurunkan sudut bibir dan
menaikkan bahu. “Entahlah, aku hanya merasa lelah. Ingin bermalas-malasan saja
hari ini. Seperti yang kubilang tadi, ingin menjauh dan membereskan “sesuatu” ”.
Aku merasa sangat kecewa dengan kelakuan Stephen…..dan kelakuanku barusan. Kami
seperti bermusuhan. Ah..situasi yang sangat MENYEBALKAN!
“Baju itu….”
Astaga, aku baru
sadar kalau sedang memakai kemeja Stephen. Kemeja bulukan yang tidak sudi
dipakainya. Kemeja ini kuanggap seperti piyama yang sangat nyaman untuk dipakai
di rumah.
“Oh, iya ini untuk
terakhir kalinya aku memakai. Karena sudah telalu buluk, setelah ini akan
kubuang”.
Bodoooohhh! Kenapa
aku menjawab seperti barusaaan? Astaga, makin runyam deh masalahnyaaa! Regina
BODOH!
Stephen tidak marah
ataupun menjawab pernyataanku barusan. Dia malah mendekat ke arahku. Dia
memeluk dengan hangat dan berhasil membuyarkan airmataku. Ah, benar-benar
bodohnya aku.
“Sudah, jangan
menangis lagi. Kamu mungkin telah mengalami suatu hal buruk dan mempengaruhi
moodmu. Aku datang di saat yang tidak tepat, ya kan?”
“Maaf, Stephen,
maaf” , aku berhasil membasahi kemeja di badan Stephen dengan airmata dan ingus
(jorok!).
“Hee…okelaah aku
akan memaafkanmu dengan satu syarat”
“Apa-apaan sih
sampai hal seperti ini juga perhitungan?”
“Bukan mengenai
kelakuanmu yang jutek itu, sayangku. Tapi lihat, hasil karyamu di kemejaku yang
mahal ini!” , Stephen menunjukkan pola abstrak hasil karyaku di kemejanya
dengan ekspresi pura-pura kesal. Ah, dia berhasil membuatku tertawa lagi.
“Iya deh ….kuganti
deh. Dasar perhitungan banget sih jadi manusia! Apa maumu?”
“Hmmm….apaa yaa?”,
dia membuat gesture (sok) sedang berpikir keras. Memang cocok menjadi pelawak
manusia satu ini. Tiba-tiba dia memandangiku dengan lekat. Dia meraih daguku
dan mencoba mendekatkan wajahnya.
“Stephanie?”
Gerakannya terhenti
dan tersenyum. Tersenyum bersalah.
“Istirahatlah. Aku
hanya sebentar kesini untuk break jam makan siang. Nanti akan kupikirkan cara
menebus kemejaku ini”.
Stephen mencium
keningku dan berlalu.
Aku?
Termangu…….
----------------------------------------
---------TO BE CONTINUED --------------------------------------------------